ASUHAN KEPERAWATAN PADA
GANGGUAN SISTEM PERSYARAFAN
DENGAN DIAGNOSA MEDIK
“EPILEPSI”

OLEH :
KELOMPOK II (DUA)
1.
ARJUNEDI 4.
DELVI NURLIANTI
2.
AYU ALLOSITANDI 5. FITRYA
3.
DEL ADRIYATI 6. FRANSISKA F.P
AKADEMI KEPERAWATAN
SANDI KARSA
MAKASSAR
2012 - 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ……………………………………………………………………0
DAFTAR
ISI ………...………………………………………………………………….1
KATA
PENGANTAR …………………………………………………………………..2
LAPORAN
PENDAHULUAN..………………………………………………………..3
KONSEP DASAR MEDIS………………..…………………………………………….3
Pengertian.………………………………....…………………..…………………………3
Etiologi..…………………..
…………………………………………………...………...3
Pathofisiologi……..
…………………………………………………..………………….3
Manifestasi
klinik………………………………………………….……………………..4
Pemeriksaan
penunjang………………………………………………………………..…5
Komplikasi …………………………………………………………………………..…..6
Penatalaksanaan……………………………………………………………………..……6
KONSEP ASUHAN
KEPERAWATAN…………………………………………..……7
PENGKAJIAN …………………..………………………………………………..……7
DIAGNOSA
KEPERAWATAN…………………………………………………..……9
PENYIMPANGAN KDM………………………………………………………..…….10
ASUHAN
KEPERAWATAN……………………….…………………………..……..12
PENGKAJIAN…………………………………………………………………….……12
Diagnosa
Keperawatan………………………………………………………………….14
Rencana
Intervensi………………………………………………………………………15
1
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat-Nya yang
selalu dilimpahkan atas kita sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA
GANGGUAN SISTEM PERSYARAFAN DENGAN DIAGNOSA MEDIK EPILEPSI“.
Walaupun
makalah ini sudah penulis susun dengan sebaik-baiknya namun penulis menyadari
bahwa didalamnya masih terdapat banyak kekurangan,oleh karena itu kritik dan
saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga
Tuhan Yang Maha Esa menerima segala upaya dan bantuan yang telah di berikan
kepada kami di dalam perbaikan makalah ini sehingga makalah ini bisa berguna
bagi kita semua di hari depan.
2
LAPORAN PENDAHULUAN EPILEPSI
I.
KONSEP
DASAR MEDIS
A. PENGERTIAN
Epilepsi
adalah gejala kompleks dan banyak gangguan fungsi otak berat yang
dikarakteristikkan oleh kejang yang berulang. ( Smeltzer, 2002 ; 2003 )
B. ETIOLOGI
1. Trauma lahir
2. Cidera kepala
3. Beberapa infeksi
4. Keracunan
5. Gangguan metabolisme dan nutrisi
6. Intoksikasi ( keracunan ) obat –
obatan
C. PATHOFISIOLOGI
Adanya predisposisi yang memungkinkan gangguan pada
sistem listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan
sel-sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara
berulang, dan tidak terkontrol (disritmia).
Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi setelah suatu
gangguan pada otak dan sebagian ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi.
Lesi pada mesensefalon, thalamus, dan korteks serebri kemungkinan besar
bersifat epileptogenic sedangkan lesi pada serebellum dan batang otak biasanya
tidak menimbulkan serangan epilepsi ( Brunner, 2003).
Pada tingkat membrane sel, neuron epileptik ditandai
oleh fenomena biokimia tertentu. Beberapa di antaranya adalah:
1.
Ketidakstabilan membrane sel saraf
sehingga sel lebih mudah diaktifkan.
2.
Terjadi polarisasi yang abnormal (
polarisasi berlebihan, hiperpolarisasi, atau terhentinya repolarisasi ).
3
3.
Ketidakseimbangan ion yang mengubah
lingkungan kimia dari neuron. Pada waktu serangan, keseimbangan elektrolit pada
tingkat neunoral mengalami perubahan. Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan
membrane neuron mengalami depolarisasi.
Situasi ini akan
menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal terjadi dengan
cepat, dan seseorang dikatakan menuju kearah epilepsi. Gerakan-gerakan fisik
yang tak teratur disebut kejang.
Akibat adanya
disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini memberikan manifestasi
pada serangan awal sederhana sampai gerakan konvulsif memanjang dengan penurunan
kesadaran. Keadaan ini dapat dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan
berlebihan, hilangnya tonus otot, serta gerakan dan gangguan perilaku, alam
perasaan, sensasi, dan persepsi.
Masalah dasarnya
diperkirakan dari gangguan listrik ( disritmia ) pada sel saraf pada salah satu
bagian otak yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal,
berulang, dan tidak terkontrol.
D. MANIFESTASI
KLINIS
1.
Dapat berupa kejang-kejang
2.
Gangguan kesadaran atau gangguan
penginderaan
3.
Kelainan gambaran EEG
4.
Tergantung lokasi dan sifat Fokus
Epileptogen
5.
Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi
tanda sebelum kejang epileptik (Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat
sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap
sesuatu, sakit kepala dan sebagainya).
4
Aspek komplikasi
yang dapat ditimbulkan dari terjadinya serangan epilepsi tersebut yang sangat
berperan pada faktor-faktor yang dapat menimbulkan adanya masalah psikososial
adalah :
1.
Prasangka dan ketidaktahuan masyrakat
tentang epilepsi
2.
Pendidikan
Sebagian besar penderita epilepsi dapat bersekolah
di sekolah biasa. Tidak jarang anak dengan epilepsi dirugikan karena tidak
diperkenankan ikut serta dalam kegiatan olah raga, darmawisata, kuliah kerja
nyata karena guru khawatir muridnya mendapat cidera bila mendapat serangan
selama kegiatan tersebut.
3.
Pekerjaan
Sebetulnya banyak pekerjaan yang dapat dilakukan
oleh penderita epilepsi sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya, kecuali
beberapa pekerjaan yang tidak boleh dilakukan karena membahayakan bila
penderita hilang kesadarannya dan disertai kejang-kejang.
4.
Olah raga
Olah raga baik untuk kesehatan fisik dan mental. Ada
beberapa jenis olah raga yang perlu dihindari seperti mendaki gunung, menyelam,
senam, berenang (boleh dengan pengawasan).
5.
Mengendarai kendaraan bermotor
Sebaiknya penderita epilepsi dilarang mengendarai
sepeda motor, mobil atau membawa kendaraan umum seperti bus, metromini dan
lain-lain karena dapat membayakan dirinya maupun orang lain.
E.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
1.
Elektrolit,
tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas
kejang.
2.
Glukosa,
hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus ) kejang.
3.
Ureum atau creatinin,
meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya aktivitas kejang atau mungkin
sebagai indikasi nefrofoksik yang berhubungan dengan pengobatan.
5
4.
Sel darah merah, anemia aplestin mungkin
sebagai akibat dari therapi obat.
5.
Kadar obat pada serum : untuk
membuktikan batas obat anti epilepsi yang teurapetik.
6.
Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan
abnormal, tanda infeksi, perdarahan.
7.
Foto rontgen kepala, untuk
mengidentifikasi adanya sel, fraktur.
8.
Electro ensefalogran
( EEG ) melokalisasi daerah serebral yang tidak berfungsi dengan baik, mengukur
aktivitas otak.
9.
CT scan,
mengidentifikasi letak lesi serebral, infark hematoma, edema serebral,
trauma, abses, tumor dan dapat dilakukan dengan atau tanpa kontras.
10. DET
( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan perubahan metabolik.
( Dongoes, 2000 : 202 )
F. KOMPLIKASI
1.
Kerusakan otak akibat hipoksia dan
retardasi mental dapat timbul akibat kejang yang berulang.
2.
Dapat timbul depresi dan keadaan cemas.
( Elizabeth, 2001 : 174 )
G. PENATALAKSANAAN
Penanggulangan
penderita epilepsi tidak hanya bersifat pemberian obat-obatan untuk mencegah
terjadinya serangan, akan tetapi juga memperhatikan aspek-aspek lain,
diantaranya aspek psikososial, keluarga, pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya.
Tujuan penanggulangan epilepsi ialah membantu para penderita agar dapat hidup
bahagia dan mengembangkan diri dalam masyarakat. Dalam hal ini selain peran
dokter juga pembinaan penderita dalam keluarga dan suasana di lingkungan
sekolah, pekerjaan dan sebagainya sangat penting.
1.
Peran dokter
Memang benar, bahwa pengobatan
dengan obat-obat yang dapat mencegah serangan epilepsi merupakan bagian
terpenting dalam penanggulangan epilepsi, namun tugas para dokter tidak hanya
memberi pengobatan, akan tetapi dokter juga senantiasa harus memberi bimbingan
kepada penderita dan keluarganya.
6
2.
Pembinaan penderita dalam keluarga
Salah satu unsur
penting dalam pembinaan kehidupan penderita epilepsi ialah keluarganya. Oleh
karena itu, dalam pembicaraan dengan penderita mengenai penyakitnya, dokter
harus mengikutsertakan keluarga penderita, yakni kedua orang tua pabila yang
menderita epilepsi adalah anaknya atau suami istri apabila salah seorang dari
pasangan suami istri menderita epilepsi. Masalah yang biasanya dihadapi oleh
anak yang menderita epilepsi ialah penolakan atau pengucilan oleh keluarganya
atau justru sebaliknya, yakni orang tua melindungi secara berlebihan inilah
yang merupakan bahaya terbesar bagi perkembangan watak si penderita. Ia akan
merasa rendah diri, sehingga dalam perkembangan selanjutnya ia tidak akan dapat
hidup mandiri.
3.
Pendidikan lingkungan sekolah
Dari penderita epilepsi ada yang
kepandaiannya kurang dari normal atau yang menderita retardasi mental. Keadaan
demikian bukan disebabkan oleh epilepsinya, akan tetapi oleh kerusakan pada
sel-sel otak yang juga menjadi penyebab timbulnya serangan epilepsi. Anak-anak
tersebut tentu tidak bisa sekolah di sekolahan biasa akan tetapi harus mendapat
pendidikan luar biasa. Apabila ada keragu-raguan tentang intelegensi penderita,
maka sebaiknya diminta bantuan seorang psikolog untuk menilai kepandaian dan
bakat penderita.
II. KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN
1.
Riwayat kesehatan yang berhubungan
dengan faktor resiko bio-psiko-sosial-spiritual.
Data subjektif :
faktor presipitasi (suhu tinggi, kurang tidur, keadaan emosional labil), pernah
mengalami sakit berat yang disertai kejang. Pernah sakit cedera otak, operasi otak.
Pernah minum obat tertentu/alcohol. Ada riwayat penyakit yang sama dalam
keluarga.
7
2.
Aktifitas/Istirahat
Data subjektif :
keadaan umum yang lemah, lelah, menyatakan keterbatasan aktifitas, tidak dapat
merawat diri sendiri.
Data
objektif : menurunnya kekuatan otot/otot lemah.
3.
Peredaran darah
Data objektif :
didapat data pada saat serangan : hipertensi, denyut nadi meningkat, cyanosis.
Setelah serangan tanda vital mungkin normal atau mungkin disertai nadi dan
pernafasan menurun.
4.
Eliminasi
Data
subjektif : tidak dapat menahan BAB dan BAK
Data objektif :
saat serangan tekanan vesica urinaria dan otot spinkter meningkat. Setelah
serangan dalam keadaan inikontinensia otot-otot vesica urinaria dan spinkter
rileks.
5.
Makanan/cairan
Data
subjektif : selama serangan makanan sangat sensitive
Data objektif :
gigi/gusi mengalami kerusakan selama serangan, gusi hiperplasi/bengkak akibat
samping obat dilantin.
6.
Persyarafan
Data subjektif :
selama serangan ada riwayat nyeri kepala,
8
kehilngankesadaran/pingsan,
kehilangan kesadaran sesaat/lena, klien menangis, jatuh ke lantai, disertai
komponen motorik seperti kejang tonik-klonik, mioklonik, tonik, klonik, atonik.
Klien menggigit lidat, mulut berbuih, ada inkontinensia urin dan feces,
bibir-muka berubah warna/cyanosis
Sesudah serangan
: klien mengalami letargi, bingung, nyeri otot, gangguan bicara, nyeri kepala.
Ada perubahan gerakan seperti hemiplegi sementara, klien ingat/tidak ingat
kejadian yang menimpanya. Terjadi/tidak terjadi perubahan tingkat kesadaran,
pernafasan, dan denyut nadi.
7.
Konsep diri
Data
subjektif : merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan.
Data
objektif : selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain.
8.
Interaksi social
Data subjektif :
mengalami gangguan interaksi dengan orang lain/keluarga karena malu.
B.
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1.
Resiko injuri yang berhubungan dengan
kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat
kejang, penurunan tingkat kesadaran.
2.
Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri
kepala sekunder respons pascakejang (postikal)
3.
Ketakutan yang berhubungan dengan kejang
berulang
4.
Koping individu tidak efektif yang
berhubungan dengan depresi akibat epilepsi.
9
C.
PENYIMPANGAN
KDM
![]() |
|||||||
|
|||||||
![]() |
|||||||
10
11
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN
Pengkajian
keperawatan epilepsi meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial ( pada anak perlu dikaji
dampak tumbuh kembang, dan dampak hospitalitasi).
1.
Riwayat
Penyakit Saat Ini
Faktor riwayat
penyakit sangat penting diketahui karena untuk
mengetahui pola dari kejang klien. Di sini harus ditanya dengan jelas tentang
gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, stimulus yang sering
menyebabkan respons kejang, dan seberapa jauh akibat kejang dengan respons
fisik dan psikologis dari klien.
Tanyakan faktor-faktor
yang memungkinkan predisposisi dari serangan epilepsi. Apakah sebelumnya pernah
mengalami trauma kepala dan infeksi serta kemana saja klien sudah meminta
pertolongan setelah mengalami keluhan. Penting ditanyakan tentang pemakaian
obat-obat sebelumnya seperti pemakaian obat-obat antikonvulsan, obat antipiretik,
dll.
2.
Riwayat
Penyakit Dahulu
Penting
ditanyakan riwayat antenatal, dan pascanatal dari kelahiran klien, karena hal
ini sangat mendukung predisposisi dari adanya keluhan kejang saat ini.
3.
Pengkajian
Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi
klien terhadap kondisi pascakejang. Setelah mengalami kejang klien akan lebih
banyak menarik diri, ketakutan akan serangan kejang berulang, dan depresi akan
prognosis dari kondisi yang akan datang.
12
4.
Pemeriksaan
Fisik
Pada pengkajian
fisik secara umum, sering didapatkan pada awal pascakejang klien mengalami
konfusi dan sulit untuk bangun. Pada kondisi yang berat sering dijumpai adanya
penurunan kesadaran.
5.
Tingkat
Kesadaran
Kualitas
kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling penting
yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan
adalah indikator paling sensitive untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa
sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
kesadaran.
6.
Fungsi
Serebral
Status mental:
observasi penampilan dan tingkah laku klien, nilai gaya bicara dan observasi ekspresi
wajah, aktifitas motorik pada klien epilepsi tahap lanjut biasanya mengalami
perubahan status mental seperti adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan
persepsi.
7.
Pemeriksaan
Saraf Kranial
13
8.
Pemeriksaan
Refleks
9.
Diagnosa
Keperawatan
Ø Resiko
tinggi injuri yang berhubungan dengan kejang berulang, ketidaktahuan tentang
epilepsy dan cara penanganan saat kejang, penurunan tingkat kesadaran.
Ø Nyeri
akut yang berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons pascakejang
(postikal)
Ø Defisit
perawatan diri yang berhubungan dengan konfusi, malas bangun sekunder respons
pascakejang (postikal)
Ø Ketakutan
yang berhubungan dengan kejang berulang
Ø Koping
individu tidak efektif yang berhubungan dengan depresi akibat epilepsi
14
10. Rencana Intervensi
|
1.
Resiko injuri
yang berhubungan dengan kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan
cara penanganan saat kejang, penurunan tingkat kesadaran.
|
|
|
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam
perawatan klien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan
kesadaran.
Kriteria hasil : Klien dan keluarga
mengetahui pelaksanaan untuk menghindari stimulus kejang, melakukan
pengobatan teratur untuk menurunkan intensitas kejang.
|
|
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
|
Kaji tingkat pengetahuan klien dan
keluarga mengenai cara penanganan saat kejang
|
Data dasar untuk intervensi
selanjutnya
|
|
Ajarkan klien dan keluarga metode
mengontrol demam
|
Orang tua dengan anak yang pernah
mengalami kejang demam harus diinstruksikan tentang metode untuk mengontrol
demam (kompres dingin, obat antipiretik)
|
|
Anjurkan kontroling pascacedera kepala
|
Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang
tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman,
tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsy akibat cedera kepala
|
|
Anjurkan keluarga agar mempersiapkan
lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat
suction selalu berada dekat klien.
|
Melindungi klien bila kejang terjadi
|
|
Anjurkan untuk menghindari rangsang
cahaya yang berlebihan
|
Klien sering mengalami peka rangsang
terhadap cahaya yang sangat silau. Beberapa klien perlu menghindari
|
|
Anjurkan mempertahankan bedrest total
selama fase akut
|
Mengurangi resiko jatuh/ terluka jika
vertigo,sincope dan antaksia terjadi
|
|
Kolaborasi pemberian terapi fenitoin
(Dilantin)
|
Terapi medikasi untuk mengontrol
menurunkan respons kejang berulang
|
15
|
2.
Nyeri akut
yang berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons pascakejang (postikal)
|
|
|
Tujuan : Dalam
waktu1 x 24 jam keluhan nyeri berkurang/rasa sakit teradaptasi (terkontrol)
Kriteria hasil
: Klien dapat tidur dengan tenang. Wajah rileks dank lien memverbalisasikan
penurunan rasa sakit
|
|
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
|
Usahakan membuat lingkungan yang aman
dan tenang
|
Menurunkan reaksi terhadap rangsangan
eksternal atau sensitivitas terhadap cahaya dan menganjurkan klien untuk
beristirahat.
|
|
Lakukan manajemen nyeri dengan metode
distraksi dan relaksasi napas dalam
|
Membantu menurunkan (memutuskan)
stimulasi sensasi nyeri
|
|
Lakukan latihan gerak aktif atau pasif
sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati
|
Dapat membantu relaksasi otot-otot
yang tegang dan dapat menurunkan rasa sakit/tidak nyaman
|
|
Kolaborasi pemberian analgetik
|
Mungkin diperlukan untuk menurunkan
rasa sakit.
Catatan : Narkotika merupakan
kontraindikasi karena berdampak pada status neurologi sehingga sukar untuk
dikaji
|
|
3.
Ketakutan yang
berhubungan dengan kejang berulang
|
|
|
Tujuan:dalam waktu 1 x 24 jam setelah
intervensi ketakutan klien hilang atau berkurang.
Kriteria hasil : mengenal perasaannya,
dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya, dan
menyatakan ketakutan berkurang/hilang
|
|
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
|
Bantu klien mengekspresikan perasaan
takut
|
Ketakutan berkelanjutan memberikan
dampak psikologis yang tidak baik
|
|
Lakukan kerjasama dengan keluarga
|
Kerjasama klien dan keluarga
sepenuhnya penting. Mereka harus yakin terhadap manfaat program yang di
tetapkan. Harus ditekankan bahwa medikasi anti konvulsan yang diresepkan
harus dikonsumi secara terus menerus dan bahwa ini bukan obat yang membretuk
kebiasaan. Medikasi ini dapat dikonsumsi tanpa rasa takut ketergantungan obat
selama bertahun-tahun jika obat-obatan tersebut diperlukan. Jika klien
dibawah pengawasan perawatan kesehatan dan didampingi, maka klien harus
melakukan instruksi dengan taat.
|
|
Hindari konfrontasi
|
Konfrontasi dapat meningkatkat rasa
marah,menurunkan kerja sama,dan mungkin memperlambat penyembuhan
|
|
Ajarkan kontrol kejang
|
Kontrol kejang bergantung pada aspek
pemahaman dan kerja sama klien.Gaya hidup dan lingkungan dikaji untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mencetuskan kejang: gangguan
emosi,stressor lingkungan baru,awitan (onset) menstruasi pada klien
wanita,atau demam.Klien dianjurkan untuk mengikuti gaya hidup rutin regular
dan sedang, (diet menghindari stimulan berlebihan), latihan,dan
istirahat(gangguan tidur dapat menurunkan ambang klien terhadap
kejang).Aktifitas sedang adalah terapi yang baik dan penggunaan energi yang
berlebihan dapat dihindari
|
|
Beri lingkungan yang tenang dan
suasana penuh istirahat
|
Mengurangi rangsangan eksternal yang
tidak perlu
|
|
Kurangi stimulus ketegangan
|
Keadaan tegang(ansietas) mengakibatkan
kejang pada beberapa klien.pengklasifikasian penatalaksanaan stress akan
bermanfaat,karna kejang diketahui terjadi akibat asupan alcohol,maka
kebiasaan ini harus dihindari.terapi paling baik adalah mengikuti rencana
pengobatan untuk menghindari stimuli yang mencetuskan kejang
|
|
Tingkatkan control sensasi klien
|
Kontrol sensasi klien(dalam menurunkan
ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien,menekankan
pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri) yang
poisitif,membantu latihan relaksasi dan tehnik-tehnik pengalihan dan
memberikan respon balik yang positif
|
|
Orientasikan klien terhadap prosedur
rutin dan aktifitas yang diharapkan
|
Orientasi dapat menurunkan kecemasan
|
|
Beri kesempatan pada klien untuk
mengungkapkan ansietasnya
|
Dapat menghilangkan ketegangan
terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan
|
|
Berikan privasi untuk klien dan orang
terdekat
|
Memberi waktu untuk mengekspresiakan
perasaan,menghilangkan cemas,dan prilaku adaptasi.Adanya keluarga dan
teman-teman yang dipilih klien melayani aktifitas dan pengalihan (misalnya
membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.
|
17
|
4.
Koping
individu tidak efektif yang berhubungan dengan depresi akibat epilepsi
|
|
|
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam
setelah intervensi harga diri klien meningkat
Kriteria hasil : Mampu menyatakan atau
mengomunisasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang
sedang terjadi,mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi,mengakui dan
menggabungkan perubahan kedalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa
harga diri yang negative.
|
|
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
|
Kaji perubahan dari gangguan persepsi
dan hubungan dengan derajat ketidak mampuan
|
Menentukan bantuan individual dalam
menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi
|
|
Identifikasi arti dari kehilangan atau
disfungsi pada klien
|
Beberapa klien dapat menerima dan
mengatur perubahan fungsi secara efektif dengan sedikit penyesuaian
diri,sedangkan yang lain mempunyai kesulitan membandingkan,mengenal,dan
mengatur kekurangan
|
|
Anjurkan klie untuk mengekspresiakan
perasaan termasuk hostility dan kemarahan
|
Menunjukkan penerimaan,membantu klien
untuk mengenal dan mulai menyesuaikan dengan prasaan tersebut
|
|
Catat ketika klien mengatakan
terpengaruh seperti sekarat atau mengingkari dan mengatakan inilah kematian
|
Mendukung penolakan terhadap bagian
tubuh atau perasaan negative trhadap gambaran tubuh dan kemampuan yang
menunjukkan kebutuhan dan intervensi serta dukungan emosional.
|
|
Pernyataan pengakuan terhadap
penolakan tubuh, mengingatkan kembali fakta kejadian tentang realitas bahwa
masih dapat menggunakan sisi yang sakit dan belajar mengontrol sisi yang
sehat.
|
Membantu klien untuk melihat bahwa
perawat menerima kedua bagian sebagai bagian dari seluruh tubuh. Mengizinkan
klien untuk merasakan adanya harapan dan mulai menerima situasi baru.
|
|
Bantu dan anjurkan perawatan yang baik
dan memperbaiki kebiasaan
|
Membantu meningkatkan perasaan harga
diri dan mengontrol lebih dari satu area kehidupan.
|
|
Anjurkan orang yang terdekat untuk
mengizinkan klien melakukan hal untuk dirinya sebanyak-banyaknya.
|
Menghidupkan kembali perasaan
kemandirian dan membantu perkembangan harga diri serta mempengaruhi proses
rehabilitasi.
|
|
Dukung perilaku atau usaha seperti
peningkatan minat atau partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi.
|
Klien dapat beradaptasi terhadap
perubahan dan mengerti tentang peran individu masa mendatang
|
|
Monitor gangguan tidur peningkatan
kesulitan konsentrasi, letargi, widhrawal.
|
Dapat mengindikasikan terjadinya
depresi umum terjadi sebagai pengaruh dari stroke dimana memerlukan
intervensi dan evaluasi lebih lanjut.
|
|
Kolaborasi: rujuk pada ahli
neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi
|
Dapat memfasilitasi perubahan peran
yang penting untuk perkembangan perasaan.
|
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif.
2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.
http://putrisayangbunda.blog.com/2010/02/10/askep-epilepsi/


